KETIKA berbicara dalam seminar bertajuk Hukum dan
Keadilan dalam Perspektif Hukum Progresif di Kabupaten Sikka, pekan lalu
lalu, Ketua Komisi III DPR RI, Dr Benny K Harman mengatakan, dalam
penerapan hukum positif dibutuhkan akal sehat.
Menurutnya, menggunakan akal sehat akan mengedepankan obyektivitas dalam penyelesaian sebuah persoalan hukum.
Pernyataan ini ada benarnya. Mengapa? Karena di era sekarang, dalam menyelesaikan sebuah persoalan hukum, aparat penegak hukum dalam menjalankan perannya cenderung mengabaikan prosedur hukum yang ada. Padahal, yang paling penting dalam proses penegakan hukum adalah lembaga penegak hukum berikut aparatnya, mampu menjalankan perannya secara baik dan benar.
Memang, selama ini aparat penegak hukum sering mengedepankan transparansi dan obyektivitas serta mengikuti prosedur hukum tertentu. Namun, tidak dapat diingkari bahwa aparat penegak hukum juga terkadang terjebak dalam subyektivisme bahkan sarat dengan pertimbangan tertentu. Tidak sedikit memaknai hukum berbeda-beda.
Sebagaimana kita ketahui, dalam banyak kasus, terlihat dan terbaca sangat jelas bahwa ada skenario yang dibuat aparat penegak hukum. Mulai dari polisi, kejaksaan hingga hakim di pengadilan. Terkadang disertai dengan adanya upaya membelokkan kasus tertentu.
Skenario dan upaya pembelokan kasus sudah tentu merupakan upaya-upaya yang bertentangan dengan akal sehat. Padahal hukum itu sumbernya akal sehat. Alat kontrolnya akal sehat karena hukum itu produk dari akal sehat. Filosofi ini mestinya dimaknai sungguh-sungguh oleh aparat sehingga tidak kebablasan dalam bekerja, termasuk mengimplementasikan produk-produk hukum.
Karena hukum itu bersumber dan dikontrol akal sehat masyarakat, maka ketika penegakan hukum berjalan tidak sesuai akal sehat, maka pasti mendapat penolakan kuat dari publik. Saat ini, banyak masyarakat yang mengerti hukum.
Sudah pintar sehingga ketika mengetahui ada praktek-praktek yang tidak benar yang dilakukan aparat penegak hukum, dengan cepat bereaksi. Bahwa banyak aparat bekerja tidak dengan akal sehat merupakan penilaian mayoritas masyarakat yang adalah pencari keadilan.
Akibatnya, masyarakat yang memiliki akal sehat dan nurani memberikan hukuman moral kepada oknum aparat yang tidak becus. Banyak aparat telah kehilangan kredibilitas setelah mendapat sanksi moral dari masyarakat. Meski demikian, tidak memberi efek jera bagi aparat lainnya. Malah praktek-praktek yang tidak benar oleh aparat terus tumbuh subur.
Kita tentu sepakat bahwa hukum harus menjadi primadona. Hukum adalah raja. Dia mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Namun, ketika membicarakannya, banyak orang memaknai hukum berbeda-beda. Ini erat kaitannya dengan pengalaman hukum, baik itu dialami sendiri ataupun yang terjadi di lingkungan sekitar.
Hukum dimengerti sebagai seluruh peraturan-peraturan terhadap sesuatu yang dibolehkan atau tidak/larangan. Bentuknya adalah tertulis maupun tidak tertulis. Jika dilanggar dapat sanksi. Untuk sanksi, diberikan langsung oleh negara seperti tahanan, penjara, denda dan sangsi-sangsi lainnya. Hal-hal ini hendaknya dipahami secara bersama-sama.
Bahwa dalam prakteknya, banyak dijumpai kondisi-kondisi berbeda, itu adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Sebagai misal, sanksi yang diberikan tidak mencerminkan rasa keadilan dan senderung diskriminatif.
Agar proses hukum itu mencerminkan rasa keadilan, pada tataran ini, peran masyarakat dalam mengontrol perlu lebih ditingkatkan. Masyarakat mesti mengawal proses berjalannya hukum yang ada. Tetapi, tidak boleh mengintervensi terlalu jauh sampai-sampai lembaga penegak hukum tidak bisa menjalankan perannya sebagaimana mestinya.
Karena hal tersebut mencederai hukum. Masyarakat hendaknya mengawasi proses berjalannya hukum sesuai etika dan benar-benar bertanggung jawab bukan dengan memaksakan kehendak
Menurutnya, menggunakan akal sehat akan mengedepankan obyektivitas dalam penyelesaian sebuah persoalan hukum.
Pernyataan ini ada benarnya. Mengapa? Karena di era sekarang, dalam menyelesaikan sebuah persoalan hukum, aparat penegak hukum dalam menjalankan perannya cenderung mengabaikan prosedur hukum yang ada. Padahal, yang paling penting dalam proses penegakan hukum adalah lembaga penegak hukum berikut aparatnya, mampu menjalankan perannya secara baik dan benar.
Memang, selama ini aparat penegak hukum sering mengedepankan transparansi dan obyektivitas serta mengikuti prosedur hukum tertentu. Namun, tidak dapat diingkari bahwa aparat penegak hukum juga terkadang terjebak dalam subyektivisme bahkan sarat dengan pertimbangan tertentu. Tidak sedikit memaknai hukum berbeda-beda.
Sebagaimana kita ketahui, dalam banyak kasus, terlihat dan terbaca sangat jelas bahwa ada skenario yang dibuat aparat penegak hukum. Mulai dari polisi, kejaksaan hingga hakim di pengadilan. Terkadang disertai dengan adanya upaya membelokkan kasus tertentu.
Skenario dan upaya pembelokan kasus sudah tentu merupakan upaya-upaya yang bertentangan dengan akal sehat. Padahal hukum itu sumbernya akal sehat. Alat kontrolnya akal sehat karena hukum itu produk dari akal sehat. Filosofi ini mestinya dimaknai sungguh-sungguh oleh aparat sehingga tidak kebablasan dalam bekerja, termasuk mengimplementasikan produk-produk hukum.
Karena hukum itu bersumber dan dikontrol akal sehat masyarakat, maka ketika penegakan hukum berjalan tidak sesuai akal sehat, maka pasti mendapat penolakan kuat dari publik. Saat ini, banyak masyarakat yang mengerti hukum.
Sudah pintar sehingga ketika mengetahui ada praktek-praktek yang tidak benar yang dilakukan aparat penegak hukum, dengan cepat bereaksi. Bahwa banyak aparat bekerja tidak dengan akal sehat merupakan penilaian mayoritas masyarakat yang adalah pencari keadilan.
Akibatnya, masyarakat yang memiliki akal sehat dan nurani memberikan hukuman moral kepada oknum aparat yang tidak becus. Banyak aparat telah kehilangan kredibilitas setelah mendapat sanksi moral dari masyarakat. Meski demikian, tidak memberi efek jera bagi aparat lainnya. Malah praktek-praktek yang tidak benar oleh aparat terus tumbuh subur.
Kita tentu sepakat bahwa hukum harus menjadi primadona. Hukum adalah raja. Dia mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Namun, ketika membicarakannya, banyak orang memaknai hukum berbeda-beda. Ini erat kaitannya dengan pengalaman hukum, baik itu dialami sendiri ataupun yang terjadi di lingkungan sekitar.
Hukum dimengerti sebagai seluruh peraturan-peraturan terhadap sesuatu yang dibolehkan atau tidak/larangan. Bentuknya adalah tertulis maupun tidak tertulis. Jika dilanggar dapat sanksi. Untuk sanksi, diberikan langsung oleh negara seperti tahanan, penjara, denda dan sangsi-sangsi lainnya. Hal-hal ini hendaknya dipahami secara bersama-sama.
Bahwa dalam prakteknya, banyak dijumpai kondisi-kondisi berbeda, itu adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Sebagai misal, sanksi yang diberikan tidak mencerminkan rasa keadilan dan senderung diskriminatif.
Agar proses hukum itu mencerminkan rasa keadilan, pada tataran ini, peran masyarakat dalam mengontrol perlu lebih ditingkatkan. Masyarakat mesti mengawal proses berjalannya hukum yang ada. Tetapi, tidak boleh mengintervensi terlalu jauh sampai-sampai lembaga penegak hukum tidak bisa menjalankan perannya sebagaimana mestinya.
Karena hal tersebut mencederai hukum. Masyarakat hendaknya mengawasi proses berjalannya hukum sesuai etika dan benar-benar bertanggung jawab bukan dengan memaksakan kehendak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar